Mereka kok Bisa? – Sebuah Catatan Perjalanan Ke Negeri Jiran

http://traffictravel.com/kuching-sarawak-travel-review/

Tulisan ini adalah pengalaman perjalanan dari Orang Tua saya yang berkunjung ke negeri seberang. Kiranya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita ini.

*Beberapa istilah disini sudah saya sesuaikan agar dapat dipahami.

Ini adalah rekaman perjalananku pertama kali ke Kucing Malaysia. Perjalanan ini dilakukan 12 April 2012 hingga 14 April 2012. Kunjungan ke Kucing bukanlah sengaja untuk membuat laporan perjalanan, akan tetapi untuk mengantar istriku berobat di Rumah sakit Normah. Akan tetapi sangat disayangkan jika pengalaman ini tidak saya abadikan dalam kata-kata.

Perbatasan Indonesia Malaysia

Kami tiba di perbatasan Indonesia – Malaysia pukul lima pagi setelah menempuh perjalanan selama delapan jam menggunakan Bus Sri Merah, yaitu bus antarnegara milik Malaysia dari Pontianak ibu kota provinsi Kalimantan Barat. Pintu Gerbang untuk wilayah Indonesia di Entikong, dan Tebedu, untuk wilayah Malaysia (Sarawak). Kedua pintu gerbang tersebut berjarak kurang lebih lima puluh meter. Kawasan diantara kedua pintu gerbang itu ditetapkan sebagai zona bebas. Kedua pintu gerbang tersebut dijaga dengan ketat olah masing-masing pihak.

Kami memasuki kawasan Malaysia pukul enam pagi, setelah kurang lebih selama satu jam antri pemeriksaan paspor di kedua pintu gerbang tersebut. Orang-orang dari Indonesia yang masuk ke Malaysia pagi itu tak kurang dari lima ratus orang. Campur baur dengan berbagai kepentingan, ada yang untuk jalan-jalan, bisnis, berobat dan mencari pekerjaan di Malaysia. Yang paling banyak adalah pencari pekerjaan.

Kelompok ini terlihat jelas baik dari usia, pakaian dan cara mereka antri. Usia mereka rata-rata antara duapuluh sampai tiga puluh tahun. Berpakaian seadanya, bahkan tidak jarang mereka hanya bersandal jepit. Mereka antri berkelompok dan diurus oleh seorang koordinator atau petunjuk jalan. Ketika antri di pintu gerbang Tebedu, saya sempat bertanya kepada seorang anak muda yang beridiri di depanku. Usianya baru delapan belas tahun. Ia adalah urutan paling belakang dari rombongannya. Menurut informasi darinya, ia berasal dari Nusa Tenggara Timur, masuk ke Malaysia melalui Pontianak. Mereka berjumlah tujuh puluh orang. Secara fisik mereka, terlihat lelah, kurus-kurus, dan tidak meyakinkan untuk dapat bekerja berat. Katanya mereka direkrut untuk bekerja di perkebunan kalapa sawit.

Saya membandingkan antara orang yang menuju Malaysia dan yang masuk ke Indonesia sangat tidak seimbang. Karena yang menuju Malaysia sangat banyak, sementara yang masuk ke Indonesia terlihat sangat sepi. Ada apa? Mungkin waktu masuk ke Indonesia, berbeda dengan yang masuk ke Malaysia.

Wilayah Malaysia

Begitu memasuki wilayah Malaysia terlihat pemandangan yang sangat berbeda dengan pemandangan di wilayah Indonesia. Untuk wilayah Indonesia tentu bagi orang-orang Indonesia tidak perlu dijelaskan lagi. Pasti semua sudah memahami situasi dan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Indonesia secara umum.

Rasanya saya tidak yakin, atau bagaikan bermimpi melihat suasana baru. Seolah-olah tebedu dan Entikong bukan satu daratan dan berdekatan letaknyanya. Saya melihat lingkungan yang bersih, tertata sangat bagus, dengan tumbuhan yang terpelihara. Tetapi prasangka burukku muncul. Mungkin saja sekitar perbatasan ini saja yang mereka benahi, pikirku. Untuk membuktikan prasangka itu ikutilah perjalanan berikut.

Pada awalnya jalan yang kami lalui menuju kota Kucing, tidak begitu lebar, sama dengan lebar jalan yang telah kami lewati menuju perbatasan, kurang lebih sembilan meter. Namun jalan-jalan di wilayah Sarawak sangat mulus, lurus, di kiri kanan jalan rumput ditebas dengan rapi bagaikan rumput di lapangan sepak bola. Marka jalan terlihat jelas baik di tepi kiri, kanan, maupun yang di tengah jalan. Rambu-rambu lalu lintas terlihat selalu diperbaharui atau dibersihkan sehingga tidak kusam. Demikian juga drainasenya sangat terpelihara. Jadi, jalan bukan sekedar prasarana transportasi yang aman dan nyaman, tetapi juga menyajikan pemandangan yang menakjubkan.

Di beberapa tempat kita melihat simpang-simpang jalan yang menurut mereka adalah jalan kampong, tetapi untuk ukuran Indonesia jalan kampung seperti itu terlalu mewah. Karena keberadaannya sama dengan jalan raya, baik kekmulusannya, kerapian kiri kanan jalan, maupun markanya, hanya ukurannya sedikit sempit. Luar biasa. Yang lebih menarik lagi adalah jalan menuju rumah penduduk. Rumah penduduk letaknya jauh dari jalan raya. Setidak-tidaknya dua puluh meter dari tepi jalan raya. Jalan menuju rumah penduduk meskipun hanya ada satu rumah, tetap beraspal dengan kualitas pengaspalan sama dengan jalan kampung, dan lengkap dengan markanya.

Hutan

Di kiri kanan jalan kita dapat melihat bebrapa tempat yang dijadikan kebun oleh penduduk setempat. Seperti kebun coklat, lada, dan ada juga kebun sawit. Kawasan yang tidak dijadikan kebun, masih dibiarkan sebagai hutan. Sehingga dikiri kanan jalan, kita masih melihat hutan yang asri dengan pepohonan yang besar. Pemandangan ini sangat berbeda dengan kondisi hutan di wilayah Indonesia yang sudah gundul atau sudah berubah fungsi.

Bukit yang tampak di kiri kanan jalan barangkali dapat dikatakan tidak pernah dijamah oleh manusia. Hutannya yang lebat dengan aneka ragam pepohonan dapat sebagai bukti perkiraan tersebut. sehingga daerah perbukitan menyajikan pemandangan tersendiri. Kebetulan kami melewati kawasan itu pagi hari, embun tebal masih terlihat bergerak keluar dari sela-sela pepohonan, kemudian membentuk garis-garis lurus menyelimuti hutan di perbukitan itu.

 

Memasuki kota Kucing

Sebelum kita memasuki kota Kucing kita akan melewati beberapa kota kecil. Nama-namanya saya sendiri tidak ingat. Kota-kota tersebut setingkat kota kecamatan atau kabupaten di Indonesia. Tetapi jangan dibayangkan sama dengan kota kecamatan atau kota kabupaten di Indonesia khususnya dengan kota-kota yang ada di Kalimantan Barat. Kota-kota di wilayah mereka tetap tertata dan terpelihara baik bersih dan enak dipandang, sehingga dapat dikatakan kota kecil yang moderen.

Kota Kucing sendiri bukanlah kota metropolitan seperti Jakarta, atau kota besar seperti Surabaya, Yogya, atau Bandung. Jumlah penduduknya kurang lebih sama dengan kota Pontianak sekitar tujuh ratus ribu jiwa. Namun infrastruktur dan fasiliasnya begitu lengkap, layaknya kota metropolitan. Di sana kita akan melihat banyak sekali gedung bertingkat atau yang disebut pencakar langit. Hotel-hotel yang bertaraf internasional, pasar moderen, dan bank-bank besar.

Mungkin dapat dikatakan Kucing bukanlah kota wisata, tetapi kota perdangangan dan jasa. Karena tidak banyak orang asing terlihat di jalan atau di pusat-pusat perbelanjaan. Berbeda dengan keberadaan orang asing yang ada di Bali atau Yogya yang terlihat berkeliaran hingga ke sudut-sudut kota.

Jalan – jalan di kota Kucing relatif luas, dan yang pasti mulus, bersih, dengan rambu-rambu yang terawat baik. Meskipun banyak mobil dibanding sepeda motor, namun arus lalulintas, tidak terlalu padat seperti di Pontianak.

 

Disiplin berlalu lintas

Kedisiplinan mereka dalam berlalu lintas pantas diancungi jempol. Rambu lalu lintas menjadi penting dan pasti mereka taati. Selama saya naik mobil taksi atau mobil jemputan, tidak sekalipun saya mendengar klakson yang dibunyikan sebagai peringatan. Knalpot dengan suara nyaringpun tidak pernah saya dengar. Sepeda motor yang mengangkut barang dagangan dengan menggunakan keranjang tidak ada. Jarak kendaraan tetap terjaga yaitu minimal dua meter baik dalam keadaan berjalan mapun berhenti. Setiap kendaraan, berjalan pada jalur yang sesuai. Sekalipun jalur kiri atau kanan kosong, pengendara tetap pada jalur tengah jika dia akan berjalan lurus. Hal serupa berlaku juga ketika antri di traffic light atau lampu merah, sebutan orang di Pontianak.

Bus-Bus penumpang menurunkan dan menaikan penumpang di terminal atau di halte-halte yang sudah tersedia. Tidak ada yang melambai-lambai, menghentikan bus penumpang di luar kedua tempat itu.

Sekalipun polisi lalu lintas tidak terlihat lalu lalang seperti di Indonesia, namun para pengendara tetap mematuhi peraturan lalu lintas. Selain menurunkan dan manaikan penumpang pada tempatnya, parkir kendaraanpun tetap pada tempat yang disediakan. Tidak ada yang memarkir kendaraan yang tidak pada tempat yang diperbolehkan parkir. Laju kendaraan di jalan juga sesuai aturan, hampir tidak kita temui pengendara saling menyalib, karena kecepatan kendaraan relatif sama. Mungkin karena jalannya begitu banyak, luas, dan warganya tertib dalam berlalu lintas, perjalanan di kota Kucing membuat kenikmatan tersendiri. Kita dengan tenang dapat menikmati pemandangan di sepanjang jalan yang kita lalui. Tidak perlu tegang oleh kemacetan, karena sangat jarang terjadi kemacetan.

 

Tata Ruang

Tataruang kota Kucing dirancang dengan detail, dan diperuntukan jangka panjang. Di kota ini kita pun masih dapat menemukan komplek pertokoan yang dibangun sejak zaman penjajahan Inggris. Sekalipun sudah begitu tua, tanpa perubahan, kawasan ini masih mampu menampung kepadatan lalu lintas yang sudah pasti jauh berbeda jika dibandingkan dengan saat kompleks pertokoan itu dibangun. Demikian juga dengan kompleks atau bangunan-bangunan baru, semuanya ditata dengan memperhatikan perkembangan kota ke masa depan.

Di antara bangunan selalu ada raung terbuka. Ruang itu dijadikan jalan atau ruang hijau. Di belakang blok toko atau pasar, selalu ada ruang terbuka untuk parkir. Jadi orang yang akan berbelanja memarkir kendaraannya di belakang toko. Meskipun tempat parkir itu terletak di bagian belakang toko, kebersihannya tetap sama dengan bagian depan toko. Tidak ada juru parkir, karena semua pengendara memarkir kendaraannnya dengan tertib sehingga memang tidak perlu tenaga yang mengatur parkir. Drainase di sekitar bangunan terhubung satu dengan lainnya dengan ukuran yang disesuaikan dengan kebutuhan aliran air disekitarnya, dan selalu dalam keadaan terjaga kebersihannya.

Emperan toko, yang kita kenal dengan sebutan kakilima, dirancang selebar tiga meter sehingga menyediakan tempat yang leluasa bagi orang-orang yang akan berbelanja atau hanya sekadar melihat-lihat. Antara kakilima dengan jalan masih ada lagi trotoar selebar satu meter yang diperuntukan bagi pejalan kaki. meskipun begitu banyak ruang terbuka yang strategis, tidak ada pedagang kakilima seperti di beberapa kota di Indonesia, termasuk di Pontianak. Sehingga pasar mereka terlihat tidak kumuh.

Perilaku sopir yang dapat berubah

Sepulang dari Kucing, kami masih menggunakan Bus Sri Merah. Sopirnya warga negara Malaysia. Selama melewati jalan-jalan di dalam kota Kucing, sopir memacu kendaraannya maksimum 40 km perjam meskipun jalan yang begitu luas dan lurus serta dalam keadaan sepi. Begitu juga ketika kami keluar dari kota Kucing kecepatan maksimum hanya 60 km perjam, meskipun jalan di luar kota Kucing begitu luas, mulus, lurus dan sedikit sekali kendaraan. Suatu saat saya protes sopir, kebetulan saya duduk persis di belakang sopir. Saya bertanya, kapan kita akan sampai kalau hanya begini kecepatan? Apa tidak bisa lebih cepat lagi? Jawab. Sopir, “tidak boleh”. Baru saya mengerti bahwa mereka manaati batas kecepatan maksimum, baik di dalam maupun di luar kota.

Jalan hanya diperuntukan untuk kegiatan berlalu lintas. Sehingga kita tidak menemukan pedagang di pinggir jalan, seperti pedagang gerobak dorong, atau sekelompok anak muda duduk-duduk di pinggir jalan.

Ini adalah rekaman perjalananku pertama kali ke Kucing Malaysia. Perjalanan ini dilakukan 12 April 2012 hingga 14 April 2012. Kunjungan ke Kucing bukanlah sengaja untuk membuat laporan perjalanan, akan tetapi untuk mengantar istriku berobat di Rumah sakit Normah. Akan tetapi sangat disayangkan jika pengalaman ini tidak saya abadikan dalam kata-kata.

SESUATU YANG PASTI

Kondisi linkungan alam kita dengan negara bagian Malaysia Timur, Sarawak sebenarnya tidak berbeda, karena kedua daerah ini baik secara geografis maupun secara kultural dan sosial sama. Penduduk / suku terbesar di kedua kawasan ini adalah Dayak, Melayu, dan Cina. Tetapi yang pasti adalah kedua kawasan ini berbeda pemerintahannya. Perbedaan pemertintahan inilah yang menyebabkan kedua kawasan ini sangat berbeda dalam berbagai hal, terutama yang terkait dengan kemajuan infrastrukur, ekonomi, teknologi, dan perliaku sosial.

Kondisi linkungan alam kita dengan negara bagian Malaysia Timur, Sarawak sebenarnya tidak berbeda, karena kedua daerah ini baik secara geografis maupun secara kultural dan sosial sama. Penduduk / suku terbesar di kedua kawasan ini adalah Dayak, Melayu, dan Cina. Tetapi yang pasti adalah kedua kawasan ini berbeda pemerintahannya. Perbedaan pemertintahan inilah yang menyebabkan kedua kawasan ini sangat berbeda dalam berbagai hal, terutama yang terkait dengan kemajuan infrastrukur, ekonomi, teknologi, dan perliaku sosial.

One thought on “Mereka kok Bisa? – Sebuah Catatan Perjalanan Ke Negeri Jiran

  1. pemerintah kita ? hmmm… capek ngeritiknya
    susah diajak berubah demi kemajuan bangsa 😦

Leave a comment